Mukadimah
Segala puji bagi Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Yang
Menguasai Hari Pembalasan. Hanya kepada-Nya kami beribadah dan hanya kepada-Nya
kami memohon pertolongan.
Salawat dan salam semoga terlimpah kepada hamba dan utusan-Nya, sang penyeru
menuju jalan-Nya, pembawa lentera hidayah dan cahaya dari-Nya. Semoga
keselamatan dan pujian pun tercurah kepada segenap para sahabatnya beserta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Amma ba’du.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-Kitab dengan membawa
kebenaran. Maka beribadahlah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya.
Ketahuilah, hak Allah untuk menerima agama/ketaatan yang murni.” (QS.
az-Zumar: 2-3)
Diantara ribuan ayat al-Qur’an,
terdapat sebuah surat
yang sudah sangat dikenal dan dihafal oleh umat Islam. Di dalamnya terkandung
rahasia-rahasia ilmu al-Qur’an. Inilah bukti kasih sayang Allah kepada
hamba-hamba-Nya. Tatkala Allah jadikan surat
ini dengan mudahnya dikenal oleh umat manusia. Agar mereka mau merenungi
kandungan makna-maknanya.
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah
berkata,
“Sesungguhnya suatu ilmu yang kebutuhan umat manusia terhadapnya semakin
besar maka konsekuensinya adalah dalil-dalil yang menunjukkan kepadanya juga
semakin jelas, sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya.”
(lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 86)
Apabila dicermati dengan baik, kita akan mengetahui bahwa surat
al-Fatihah memiliki sekian banyak faidah (pelajaran) yang sangat penting
dan mendasar bagi setiap muslim dan muslimah. Di dalamnya ditanamkan
prinsip-prinsip pokok ajaran Islam dan kunci-kunci kebaikan. Prinsip-prinsip
yang merupakan pondasi tegaknya penghambaan kepada Allah Rabb seru sekalian
alam.
Prinsip-prinsip yang mengokohan keyakinan di dalam hati seorang mukmin
tentang luasnya kasih sayang Allah dan keadilan-Nya. Prinsip-prinsip yang
mengarahkan hidupnya menuju pribadi yang bertakwa. Pribadi yang menjadikan
dunia sebagai sarana dan akhirat sebagai tujuan hidupnya. Pribadi yang
senantiasa menyimpan rasa cinta, harap, dan takut kepada Rabbnya.
Prinsip-prinsip inilah yang membuatnya senantiasa bergantung kepada Allah
dan mempersembahkan ibadah kepada-Nya semata. Prinsip-prinsip yang memandu
hati, pikiran, ucapan, dan tingkah lakunya demi menggapai kebahagiaan hidup
yang sesungguhnya.
Kebahagiaan berada di tangan-Nya, maka tidak bisa diraih kecuali dengan taat
kepada-Nya. Dia lah al-Malik, Sang Maha Raja dan al-Maalik, Sang Maha Kuasa.
Dia lah yang akan memberikan balasan kebaikan berlipat ganda kepada hamba yang
taat kepada-Nya. Dia pula yang akan memberikan hukuman setimpal kepada hamba
yang durhaka.
Maka bagaimana mungkin seorang hamba yang lemah dan tidak mengerti segala
kemaslahatan hidupnya bisa selamat kalau bukan dengan taufik dan bimbingan dari-Nya.
Sehingga petunjuk Allah adalah energi bagi setiap desah nafas dan detak
jantungnya. Tidak ada kehidupan baginya kecuali dengan tunduk dan mencintai
Sang Pencipta dirinya. Dan itu tak bisa dilakukannya kecuali dengan bimbingan
utusan-Nya guna menjalani setiap jengkal kehidupan yang dilaluinya.
Jalan lurus yang telah dihamparkan oleh Allah dan dilalui oleh para
pendahulu dalam kebaikan. Inilah jalan yang harus dipilih untuk menggapai
keselamatan dan kebahagiaan yang diidam-idamkan. Di atas jalan ini dia harus
mematuhi rambu-rambu yang mengatur lalu-lintas kehidupan. Rambu-rambu yang
memberitahukan kepadanya kapan dia harus diam, kapan harus berbicara, dan kapan
harus menggerakkan anggota badan dalam melaksanakan perintah Rabbnya.
Rambu-rambu ini yang akan menuntunnya agar terhindar dari bahaya berupa
kemurkaan Allah atau tersesat dari jalan-Nya.
Faidah-faidah ini akan kita temukan dengan mengkaji kandungan surat
al-Fatihah melalui lisan dan tulisan para ulama. Namun, itu semua hanya
akan bisa diraih dengan hati yang jernih, pikiran yang tenang, memperhatikan
keterangan-keterangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya),
“Sesungguhnya di dalam hal itu terdapat pelajaran bagi orang yang
memiliki hati (yang hidup), memasang pendengaran, dan hatinya hadir
menyaksikan.” (QS. Qaaf: 37)
Metode Mempelajari al-Qur’an
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“(Ini adalah) Sebuah Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) yang
penuh dengan berkah agar supaya mereka merenungkan ayat-ayatnya dan supaya
orang-orang yang memiliki akal pikiran mau mengambil pelajaran darinya.”
(QS. Shaad: 29)
Abu Abdirrahman as-Sulami berkata,
“Para sahabat yang mengajarkan bacaan al-Qur’an kepada kami seperti
‘Utsman bin ‘Affan, Abdullah bin Mas’ud dan lain-lain menuturkan kepada kami,
bahwasanya dahulu apabila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka mereka tidaklah melewatinya kecuali setelah mereka
pelajari pula kandungan ilmu dan amal yang terdapat di dalamnya. Mereka
berkata: Maka kami mempalajari al-Qur’an, ilmu, dan amal sekaligus secara
bersamaan.” (lihat Ushul fi at-Tafsir oleh Syaikh Ibnu Utsaimin, hal. 26)
Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi
dalam Syu’ab al-Iman meriwayatkan, dari Ibnu Mas’ud
radhiyallahu’anhu. Beliau berkata,
“Dahulu kami -para sahabat- apabila belajar kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka kami tidaklah mempelajari sepuluh ayat
lain yang diturunkan berikutnya kecuali setelah kami pelajari apa yang
terkandung di dalamnya.” Hadits ini disahihkan oleh al-Hakim dan
adz-Dzahabi menyepakatinya (lihat catatan kaki al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
[1/68])
Imam al-Qurthubi rahimahullah membawakan riwayat
dari Imam Tirmidzi, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma,
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an dengan logikanya semata
hendaklah dia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Tirmidzi no.
2951, beliau mengatakan: hadits hasan)
Maksud dari hadits ini adalah; barangsiapa yang berbicara tentang al-Qur’an
-menafsirkan al-Qur’an- dengan mengemukakan suatu pendapat yang dia mengetahui
bahwasanya kebenaran bertentangan dengan pendapatnya itu maka hendaklah dia
menempati tempat duduknya di neraka. Namun, tidaklah termasuk dalam larangan
ini siapa saja yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan kompetensi ilmu syari’at
yang dikuasainya, seperti penafsiran dari sisi bahasa, dari sisi ilmu nahwu,
dari sisi fikih dan lain sebagainya yang berlandaskan pada kaidah-kaidah
ilmiah, karena orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan landasan ilmu-ilmu
tersebut tidaklah disebut sebagai orang yang menafsirkan al-Qur’an semata-mata
dengan logika (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurthubi
rahimahullah [1/57-58])
Ilmu-ilmu yang Menopang Ilmu Tafsir
Untuk bisa memahami ilmu
tafsir dengan baik, maka dibutuhkan ilmu-ilmu lain yang menjadi penopang
dan pendukung atasnya, antara lain:
- Ilmu akidah atau tauhid, hal ini akan membentengi diri dari penyimpangan akidah
- Ilmu as-Sunnah atau hadits beserta fikihnya, sebagai penjelas terhadap ajaran al-Qur’an
- Ilmu bahasa arab -terutama nahwu dan shorof- dan ushul fikih (lihat Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an oleh Manna’ al-Qaththan, hal. 329-331 dengan ringkas dan sedikit penambahan)
Rujukan Dalam Menafsirkan al-Qur’an
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
menjelaskan, bahwa penafsiran al-Qur’an dapat diperoleh dengan bersandar kepada
hal-hal berikut:
- Kalam Allah (al-Qur’an itu sendiri), yaitu suatu ayat diafsirkan oleh ayat yang lain. Karena Allah yang menurunkan al-Qur’an maka Allah pula yang paling mengetahui apa yang Dia maksud dengan firman-Nya
- Perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qur’an ditafsirkan dengan as-Sunnah atau hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau adalah orang yang menyampaikan wahyu Allah tersebut kepada umat manusia, maka beliau lah orang yang paling mengetahui tentang makna yang dimaksud oleh firman Allah
- Perkataan para sahabat radhiyallahu’anhum, terutama ahli tafsir diantara mereka. Karena al-Qur’an itu turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka hidup. Mereka juga adalah orang-orang yang paling tulus dalam mencari kebenaran dan paling bersih dari penyimpangan-penyimpangan yang menjadi sebab seorang terhalang dari taufik kepada kebenaran
- Perkataan para tabi’in yang memiliki perhatian besar terhadap periwayatan tafsir dari kalangan para sahabat radhiyallahu’anhum. Karena umat manusia yang terbaik setelah para sahabat adalah para tabi’in dan mereka itu lebih bersih dari kotoran penyimpangan daripada generasi sesudah mereka. Selain itu, pada masa tabi’in juga belum terjadi banyak pergeseran dan perubahan dalam bahasa arab. Oleh sebab itulah para tabi’in lebih mendekati kebenaran dibandingkan generasi sesudah mereka. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Barangsiapa yang berpaling dari madzhab para
sahabat dan tabi’in serta penafsiran mereka kepada pemahaman yang bertentangan
dengannya maka dia adalah orang yang berbuat kekeliruan dalam hal itu, bahkan
tergolong pelaku kebid’ahan, walaupun dia seorang mujtahid yang boleh jadi
kesalahannya itu mendapatkan ampunan.”
- Penunjukan makna secara syari’at maupun secara bahasa yang terkandung di dalam ayat sesuai dengan konteks pembicaraannya. Apabila terdapat perbedaan antara makna suatu kata dalam istilah syari’at dan pengertian bahasa maka yang lebih didahulukan adalah pemaknaan menurut syari’at karena al-Qur’an diturunkan untuk menjelaskan syari’at, bukan untuk menjelaskan bahasa, kecuali apabila terdapat dalil lain yang menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut memang pemaknaan secara bahasa maka makna itulah yang diambil (lihat Ushul fi at-Tafsir karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah, hal. 27-29)
Ahli Tafsir Diantara Para Sahabat dan Tabi’in
Diantara para sahabat yang masyhur sebagai ahli tafsir adalah keempat
khalifah sesudah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja
riwayat tafsir dari ketiga khalifah yang pertama tidak sebanyak riwayat tafsir
yang dibawakan oleh ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu.
Hal itu dikarenakan pada masa itu mereka tersibukkan dengan urusan khilafah dan
sedikitnya kebutuhan periwayatan pada masa itu dan juga masih banyak orang yang
memahami tafsirnya. Selain itu, para sahabat lain yang terkenal sebagai ahli
tafsir di kalangan para sahabat adalah Abdullah bin Mas’ud dan
Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma (lihat Ushul
fi at-Tafsir, hal. 33-34)
Adapun para ulama tafsir di kalangan tabi’in cukup banyak, diantara mereka
adalah:
- Para ulama Mekah yang berguru kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, semacam Mujahid, ‘Ikrimah, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah
- Para ulama Madinah yang berguru kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, semacam Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah, dan Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi
- Para ulama Kufah yang berguru kepada Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, semacam Qotadah, ‘Alqomah, dan asy-Sya’bi (lihat Ushul fi at-Tafsir, hal. 37)
A. Keutamaan Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Wahai umat manusia! Sungguh telah datang kepada kalian nasehat dari
Rabb kalian (yaitu al-Qur’an), obat bagi penyakit yang ada di dalam dada,
hidayah, dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya al-Qur’an itu mengandung ilmu yang sangat meyakinkan yang
dengannya akan lenyap segala kerancuan dan kebodohan. Ia juga mengandung
nasehat dan peringatan yang dengannya akan lenyap segala keinginan untuk
menyelisihi perintah Allah. Ia juga mengandung obat bagi tubuh atas derita dan
penyakit yang menimpanya.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 465 cet.
Mu’assasah ar-Risalah)
B. Keutamaan Membaca dan Mempelajari Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya orang-orang yang membaca Kitab Allah dan mendirikan sholat
serta menginfakkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka berharap akan suatu perniagaan
yang tidak akan merugi. Supaya Allah sempurnakan balasan untuk mereka dan Allah
tambahkan keutamaan-Nya kepada mereka. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi
Maha Berterima kasih.” (QS. Fathir: 29-30)
Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bacalah al-Qur’an! Sesungguhnya kelak ia akan datang pada hari kiamat
untuk memberikan syafa’at bagi penganutnya.” (HR. Muslim no. 804)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dalam Kitabullah maka dia akan
mendapatkan satu kebaikan. Satu kebaikan itu akan dibalas dengan sepuluh kali
lipatnya. Aku tidak mengatakan bahwa Alif Lam Mim satu huruf. Akan tetapi Alif
satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (HR. Tirmidzi no. 2910,
disahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak ada hasad kecuali dalam dua perkara: seorang lelaki yang
diberikan ilmu oleh Allah tentang al-Qur’an sehingga dia pun membacanya
sepanjang malam dan siang maka ada tetangganya yang mendengar hal itu lalu dia
berkata, “Seandainya aku diberikan sebagaimana apa yang diberikan kepada si
fulan niscaya aku akan beramal sebagaimana apa yang dia lakukan.” Dan seorang
lelaki yang Allah berikan harta kepadanya maka dia pun menghabiskan harta itu
di jalan yang benar kemudian ada orang yang berkata, “Seandainya aku diberikan
sebagaimana apa yang diberikan kepada si fulan niscaya aku akan beramal
sebagaimana apa yang dia lakukan.”.” (HR. Bukhari no. 5026)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah berkumpul suatu kaum di dalam salah satu rumah Allah, mereka
membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan pasti akan
turun kepada mereka ketenangan, kasih sayang akan meliputi mereka, para
malaikat pun akan mengelilingi mereka, dan Allah pun akan menyebut nama-nama
mereka diantara para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim no. 2699)
Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari
al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari no. 5027)
Dari ‘Amir bin Watsilah, dia menuturkan bahwa suatu ketika Nafi’
bin Abdul Harits bertemu dengan ‘Umar di ‘Usfan
(sebuah wilayah diantara Mekah dan Madinah, pent). Pada waktu itu ‘Umar
mengangkatnya sebagai gubernur Mekah. Maka ‘Umar pun bertanya kepadanya, “Siapakah
yang kamu angkat sebagai pemimpin bagi para penduduk lembah?”. Nafi’
menjawab, “Ibnu Abza.” ‘Umar kembali bertanya, “Siapa itu Ibnu
Abza?”. Dia menjawab, “Salah seorang bekas budak yang tinggal bersama
kami.” ‘Umar bertanya, “Apakah kamu mengangkat seorang bekas budak
untuk memimpin mereka?”. Maka Nafi’ menjawab, “Dia adalah seorang yang
menghafal Kitab Allah ‘azza wa jalla dan ahli di bidang fara’idh/waris.”
‘Umar pun berkata, “Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam memang
telah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat dengan Kitab ini sebagian
kaum dan dengannya pula Dia akan menghinakan sebagian kaum yang lain.”.”
(HR. Muslim no. 817)
Nama-Nama Surat al-Fatihah
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan
nama-nama yang dipakai para ulama untuk menyebut surat yang agung ini:
- al-Fatihah (pembuka); maksudnya adalah pembuka al-Kitab
- Ummul Kitab (induk al-Kitab)
- Ummul Qur’an (induk al-Qur’an)
- al-Hamdu (pujian)
- ash-Sholah (pilar dalam sholat)
- ar-Ruqyah (bacaan untuk mengobati)
- Asas al-Qur’an
- al-Waqiyah (penjaga)
- al-Kafiyah (yang mencukupi) (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/101] cet. Dar Thaibah)
Waktu Turunnya Surat al-Fatihah
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, bahwa surat
al-Fatihah diturunkan di Mekah sebelum hijrah. Inilah yang dipegang oleh
Ibnu ‘Abbas, Qatadah, dan Abul ‘Aliyah. Sebagian ulama lain, semacam Abu
Hurairah, Mujahid, Atho’ bin Yasar, dan az-Zuhri, berpendapat bahwa al-Fatihah
turun di Madinah. Ada
pula yang berpendapat bahwa ia turun dua kali, sekali di Mekah dan sekali di
Madinah. Namun, pendapat yang tepat adalah surat ini diturunkan di Mekah. Sebagaimana
firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh telah Kami berikan
kepadamu tujuh ayat yang diulang-ulang.” (QS. Al-Hijr: 87). Karena surat al-Hijr ini turun
di Mekah dengan kesepakatan para ulama (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim
[1/101] cet. Dar Thaibah dan Tafsir al-Qurthubi [1/177])
Keutamaan-Keutamaan Surat al-Fatihah:
1. Surat Paling Agung
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sungguh Kami telah mengaruniakan kepadamu (Muhammad) as-Sab’u
al-Matsani (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan al-Qur’an al-’Azhim (bacaan yang
agung).” (QS. al-Hijr: 87)
Para ulama semacam Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Ibrahim
an-Nakha’i, Ibnu Abi Mulaikah, Hasan al-Bashri, Mujahid, Qotadah, Ibnu Jarir
ath-Thabari, Ibnu Hajar, dan lain-lain menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan
as-Sab’u al-Matsani adalah surat al-Fatihah (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim
[4/382], al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an [1/293], Syarh Shahih al-Bukhari li
Ibni Baththal [10/245], Fath al-Bari [8/184], Syarh as-Sunnah [3/50])
Dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu,
beliau berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah
aku ajarkan kepadamu surat
yang paling agung di dalam al-Qur’an, sebelum kamu keluar masjid?”. Lalu
beliau menggandeng tanganku, ketika kami hendak keluar aku berkata, “Wahai
Rasulullah! Tadi anda berkata: Aku akan mengajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam al-Qur’an?”.
Beliau pun bersabda, “Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin (surat al-Fatihah), itulah tujuh ayat yang
diulang-ulang (as-Sab’u al-Matsani) dan bacaan yang agung (al-Qur’an al-’Azhim)
yang diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari no. 5006)
Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah Allah menurunkan di dalam Taurat, Injil, maupun al-Qur’an,
sesuatu yang menyamai Ummul Kitab; yaitu as-Sab’u al-Matsani (surat al-Fatihah).” (HR. Ibnu Khuzaimah
no. 501 sanadnya sahih)
2. Induk Ajaran al-Qur’an
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ummul Qur’an itu adalah tujuh ayat yang sering diulang-ulang (as-Sab’u
al-Matsani) dan al-Qur’an al-’Azhim (bacaan yang agung).” (HR. Bukhari no.
4704)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata,
“al-Fatihah adalah Ummul Qur’an; dikarenakan seluruh maksud ajaran
al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga
mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang
yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok syari’at
telah terkandung di dalam surat
ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh
al-Mumti’ [2/82])
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Ia juga disebut dengan Ummul Qur’an/Induk al-Qur’an; sebab induk dari
sesuatu itu adalah pokok/sumber yang menjadi tempat kembali/rujukan sesuatu
tersebut. Makna-makna ayat al-Qur’an semuanya kembali kepada apa yang
terkandung di dalam surat
ini.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 6 cet. Dar
al-Imam Ahmad)
Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
menerangkan, bahwa dakwah seluruh para nabi ‘alaihimus salam memiliki
tiga pokok landasan yang serupa dan ketiga hal itu pun menjadi fokus perhatian
al-Qur’an serta maksud utama yang tersimpan di dalamnya. Ketiga hal itu adalah:
tauhid, nubuwwat/kenabian, dan al-Ma’aad/hari kebangkitan
setelah kematian atau mengimani hari pembalasan (lihat Manhaj al-Anbiyaa’ fi
ad-Da’wah ila Allah, hal. 38-39)
3. Rukun Sholat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengerjakan sholat dan tidak membaca Ummul Qur’an (surat al-Fatihah) di
dalamnya maka sholat itu pincang.” Beliau mengatakannya tiga kali. Pincang
maksudnya adalah tidak sempurna (HR. Muslim no. 395)
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah).”
(HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394). Dalam riwayat Muslim juga
diriwayatkan dengan lafal, “Tidak sah sholat orang yang tidak membaca Ummul
Qur’an.”
Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah mengatakan,
“Hadits ini menunjukkan wajibnya membaca surat al-Fatihah dalam sholat, dan bahwasanya
ia adalah salah satu rukun; sehingga sholat tidak sah tanpanya. Dan menurut
pendapat yang benar ia wajib dibaca dalam setiap raka’at, berdasarkan hadits
orang yang keliru sholatnya dimana Nabi bersabda, “Kemudian lakukanlah
itu dalam semua sholatmu.” (HR. Bukhari [724] dan Muslim [397]).” (lihat
Taudhih al-Ahkam [1/664])
Imam al-Baghawi rahimahullah berkata,
“Mayoritas ulama dari kalangan Sahabat maupun sesudah mereka berpendapat
bahwasanya tidak sah sholat tanpa membaca Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) apabila orang itu bisa
membacanya. Diantara mereka adalah ‘Umar, ‘Ali, Jabir, ‘Imran bin Hushain, dan
para Sahabat yang lain. Inilah yang dianut oleh Ibnul Mubarak, asy-Syafi’i,
Ahmad, dan Ishaq.” (lihat Syarh as-Sunnah [3/46] cet. al-Maktab al-Islami)
4. Bacaan Ruqyah
Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, beliau
menceritakan bahwa suatu ketika sekelompok Sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berada dalam perjalanan. Kemudian mereka melewati sebuah
kabilah arab. Mereka meminta disambut seperti layaknya tamu, tetapi permintaan
itu ditolak oleh kabilah tersebut. Namun, setelah itu mereka bertanya, “Apakah
diantara kalian ada yang pandai meruqyah? Karena pemimpin kabilah terkena
sengatan binatang berbisa atau tertimpa musibah.” Salah seorang lelaki
diantara rombongan pun berkata, “Iya.” Dia pun mendatanginya dan
meruqyahnya dengan Fatihatul Kitab hingga sembuh. Setelah itu diberikanlah
sejumlah kambing sebagai upah atasnya, tetapi orang itu enggan menerimanya. Dia
mengatakan, “Tidak, sampai aku ceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.” Lalu dia pun menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan melaporkan hal itu kepada beliau. Dia berkata, “Wahai
Rasulullah! Demi Allah, aku tidak meruqyah kecuali dengan Fatihatul Kitab (surat al-Fatihah) saja.”
Beliau pun tersenyum seraya bersabda, “Darimana kamu tahu bahwa ia adalah
ruqyah?”. Kemudian beliau memerintahkan, “Ambillah pemberian mereka,
dan sisihkan juga jatahku bersama kalian.” (HR. Bukhari no. 5007 dan
Muslim no. 2201)
Imam Ibnu Hajar menukil penjelasan Ibnul Qoyyim.
Ibnul Qoyyim berkata,
“Apabila terbukti bahwa sebagian ucapan memiliki keistimewaan dan
manfaat maka bagaimana lagi dengan ucapan Rabbul ‘alamin. Apalagi al-Fatihah;
yang tidaklah diturunkan di dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab yang lain suatu surat yang semisal
dengannya. Sebab surat
ini telah mengandung segala kandungan makna kitab suci. Ia mengandung
penyebutan pokok-pokok nama Allah dan simpul utamanya. Ia juga mengandung
penetapan adanya negeri akherat, penyebutan tauhid dan kebutuhan yang sangat
besar terhadap Rabb (Allah) untuk memberikan pertolongan dan hidayah kepadanya.
Ia juga menyebutkan doa yang paling utama yaitu permintaan hidayah menuju jalan
yang lurus; yang merangkum kesempurnaan ma’rifat kepada-Nya, pengesaan
kepada-Nya, dan beribadah kepada-Nya dengan melakukan apa yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya serta istiqomah di
atasnya. Surat ini pun bercerita tentang berbagai kelompok manusia dan
pengklasifikasian mereka menjadi: Golongan yang diberikan nikmat yaitu yang
mengenali kebenaran dan mengamalkannya, Golongan yang dimurkai karena mereka
berpaling dari kebenaran setelah mengetahuinya, dan Golongan yang tersesat
karena tidak mengetahui kebenaran. Selain itu surat ini juga mengandung
penetapan takdir, syari’at, nama-nama Allah, hari kiamat, taubat, penyucian
jiwa, perbaikan hati, dan bantahan bagi semua kelompok ahlul bid’ah. Maka
sangatlah pantas bagi sebuah surat
yang sebagian keutamaannya saja sudah semacam ini untuk digunakan sebagai obat
bagi segala macam penyakit, wallahu a’lam.” (lihat Fath al-Bari [10/224]
cet. Dar al-Hadits)
Para ulama membolehkan ruqyah apabila
terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Bacaan ruqyah itu berasal dari ayat al-Qur’an atau bacaan yang dituntunkan di dalam as-Sunnah, atau dengan menggunakan nama-nama dan sifat-sifat Allah
- Diucapkan dengan bahasa Arab dan jelas maknanya
- Tidak boleh mengandung hal-hal yang bertentangan dengan syari’at, misalnya berisi doa kepada selain Allah, meminta keselamatan kepada jin atau yang semacam itu
- Harus diyakini bahwasanya bacaan itu tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya akan tetapi tetap bergantung kepada takdir Allah ‘azza wa jalla (lihat penjelasan Syaikh Shalih alu Syaikh dalam at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 108 cet. Dar at-Tauhid, penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/117] cet. Maktabah al-’Ilmu, dan keterangan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [4/525] [10/220] cet. Dar al-Hadits)
Syaikh as-Sa’di menjelaskan bahwa ruqyah dengan ayat
al-Qur’an, as-Sunnah, atau ucapan yang baik memang dianjurkan bagi orang yang
meruqyah; karena hal ini termasuk perbuatan ihsan dan memberikan manfaat bagi
orang lain. Adapun bagi orang yang diruqyah hukumnya boleh. Meskipun demikian,
selayaknya bukan dia yang memulai meminta diruqyah. Sebab salah satu tanda
kesempurnaan tawakal dan keyakinan seorang hamba adalah dengan tidak meminta
kepada siapapun, baik ruqyah maupun yang lainnya. Kalau pun dia meminta diruqyah,
semestinya dia juga berniat untuk mendatangkan kemaslahatan bagi orang lain
yang berdoa/meruqyah dan berbuat ihsan kepadanya dengan menjadi sebab baginya
dalam melakukan ibadah ini, di samping maslahat pribadi untuk dirinya sendiri.
Ini merupakan salah satu rahasia perealisasian tauhid dan keindahan penerapan
kandungan ajarannya (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 39)
5. Menyimpan Rahasia Ilmu al-Qur’an
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
“Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan
rahasia [ajaran] al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa
Iyyaka nasta’in’. Bagian yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap
berlepas diri dari syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah
pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta
menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini
dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir al-Qur’an
al-’Azhim [1/34] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, bahwa
tawakal adalah separuh agama. Oleh sebab itu kita biasa mengucapkan dalam
sholat kita Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in. Kita memohon kepada
Allah pertolongan dengan menyandarkan hati kepada-Nya bahwa Dia akan membantu
kita dalam beribadah kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang
artinya), “Sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud:
123). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kepada-Nya lah aku
bertawakal dan kepada-Nya aku akan kembali.” (QS. Hud: 88). Tidak mungkin
merealisasikan ibadah tanpa tawakal (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab
at-Tauhid [2/28])
Surat al-Fatihah dan Tauhid
Para ulama menjelaskan, bahwa sesungguhnya
ayat-ayat al-Qur’an jika dicermati secara seksama maka ia tidak pernah keluar
dari pembicaraan seputar tauhid. Sebab, ayat al-Qur’an itu terdiri dari
beberapa bentuk pembahasan:
- Ayat-ayat yang berisi pemberitaan tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Inilah yang biasa dikenal dengan istilah tauhid al-’ilmi al-khabari (tauhid ini telah mencakup tauhid rububiyah dan tauhid asma’ wa shifat)
- Ayat-ayat yang berisi seruan untuk beribadah kepada Allah semata dan ajakan untuk mencampakkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah yang biasa disebut dengan istilah tauhid al-iradi ath-thalabi (disebut juga tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah)
- Ayat-ayat yang berisi perintah dan larangan serta pengharusan untuk taat kepada-Nya, maka ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya (huquuqut tauhid wa mukammilaatuhu). Inilah yang biasa dikenal dengan hukum syari’at atau fikih
- Ayat-ayat yang berisi pemberitaan mengenai kemuliaan yang Allah berikan kepada orang-orang yang mentauhidkan-Nya, apa yang Allah berikan kepada mereka sewaktu di dunia dan apa yang Allah karuniakan kepada mereka kelak di akhirat. Maka itu semua merupakan balasan atas ketauhidan yang telah diwujudkan oleh mereka selama hidup di dunia
- Ayat-ayat yang berisi berita tentang orang-orang musyrik serta hukuman yang Allah timpakan kepada mereka ketika di dunia dan siksaan yang Allah berikan untuk mereka kelak di akhirat. Maka ini merupakan balasan setimpal bagi orang yang menyimpang dari hukum tauhid (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah karya Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi, hal. 89 takhrij Syaikh al-Albani)
Imam Ibnu Abil ‘Izz al-Hanafi rahimahullah
memaparkan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah membicarakan tentang tauhid,
hak-haknya, balasan atasnya, dan juga membicarakan tentang syirik, pelakunya
dan hukuman untuk mereka. Maka, Alhamdulillahi
Rabbil ‘alamin mengandung ajaran tauhid [yaitu tauhid rububiyah,
pent]. Ar-Rahmanir Rahim juga mengandung ajaran tauhid [yaitu tauhid
asma' wa shifat, pent]. Maaliki yaumid diin mengandung ajaran tauhid. Iyyaka
na’budu wa iyyaka nasta’in pun berbicara tentang tauhid [yaitu tauhid
uluhiyah, pent]. Ihdinash shirathal mustaqim mengajarkan tauhid yang
di dalamnya berisi permohonan petunjuk menuju jalan orang yang bertauhid.
Mereka itulah Alladzina an’amta ‘alaihim. Bukan jalan maghdhubi
‘alaihim wa ladh dhaalliin yaitu orang-orang memisahkan diri dari tauhid
(lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 89-90)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata,
“al-Fatihah
adalah Ummul Qur’an (Induk al-Qur’an); dikarenakan seluruh maksud ajaran
al-Qur’an terkandung di dalamnya. Ia telah mencakup tiga macam tauhid. Ia juga
mencakup penetapan risalah, hari akhir, jalan para rasul dan jalan orang-orang
yang menyelisihi mereka. Segala perkara yang terkait dengan pokok-pokok
syari’at telah terkandung di dalam surat
ini. Oleh karena itu ia disebut dengan Ummul Qur’an.” (lihat Syarh
al-Mumti’ [2/82])
sumber :pemudamuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar